Latest Movie :
Recent Movies

soal ujian semester

WANITA SHALIHAH


Menjadi wanita shalihah adalah idaman setiap wanita
Seindah-indahnya perhiasan dunia
Bidadari-bidadari syurga pun cemburu dengan kecantikannya
Kecantikan hati dan ahklak nya
Sungguh mulia budi pekertinya
Lembut nan santun tutur katanya
Menentramkan bila dipandang
       Air wudhu yang selalu membasahi wajahnya
Membuat wajahnya semakin bersinar
Dzikir yang selalu terucap dari bibirnya
Membuat tentram hati seseorang yang mendengarkannya
Aku bukanlah wanita yang memiliki kecantikan fisik seperti zulaikha
Aku bukanlah wanita yang memiliki kecantikan akhlak seperti siti Fatimah
Aku juga bukanlah wanita yang memiliki banyak harta seperti  siti khadijah
Namun aku adalah wanita sederhana
Wanita yang sedang berusaha menjadi seindah indahnya perhiasan dunia
Wanita yang bisa menginspirasi  sesama
Yang bisa bermanfaat  dan kelak menjadi suri tauladan bagi wanita muslimah lainnya.

BY: Peri Kecil





pai anti gaptek


Curahan Hati Sang Peri Kecil

Curahan Hati Sang Peri Kecil

Hasil gambar untuk peri kecil kartun muslimah


Seandainya dia tau apa yang kurasakan saat ini
Ya allah apakah aku pantas memikirkan ini
Apakah aku pantas mempunyai perasaan ini
Bagaimana cara untuku mengungkapkannya
Sementara aku tak tahu perasaannya
Aku hanya bisa mengungkapkan perasaan ini kepadamu ya Allah
Jaga selalu hatiku ..
Jaga lisanku
Dan juga perbuatanku ..
Aku hanya memohon kepadamu
Semoga dia selalu berada dalam lindunganmu
Jaga dia ya Allah..
Karena disini aku hanya bisa mendo’akannya
Karena aku belum sepantasnya
Ini adalah cara ku untuk mencintainya
Aku hanya terkagum pada sosok ciptaanmu yang indah itu
Aku kagum pada kekhusyuannya dia dalam beribadah kepadamu
            Bahkan aku merasa malu pada diriku sendiri ketika melihatnya
Aku malu karena aku tidak setaat dia
Aku malu karena aku belum bisa melaksanakan perintahmu dengan baik
Dan aku malu karena aku belum bisa menjaga pandangan ku
Aku terkagum pada dia
Sosok yang ketika aku melihatnya dia menundukan pandangannya
Sosok yang ketika aku salah dia selalu membenarkannya
Sosok yang ramah menghargai seorang wanita
Ya Allah tunjukan jalan kepadaku
Apakah aku salah dengan perasaan ini
Bukan kah rasa mencintai lawan jenis itu fitrah
Ya Allah bagaimana aku harus menyikapi ini semua
Bagaimana ketika rasa rindu ini menggebu-gebu
Hanya dengan tulisan ini aku mampu mencurahkannya ..



By. Widia 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Jual beli amat penting bagi kehidupan manusia. lebih-lebih saat ini, komunikasi dan interaksi semakin mengglobal sehingga akulturasi pun mengglobal pula. Tapi pada kenyataannya tidak semua orang mampu memiliki suatu barang dengan wajar atau biasa, dikarenakan daya beli dan tarap ekonomi masyarakat berbeda-beda. Maka dari itu terjadilah transaksi jual beli yang pembayarannya tidak secara cash tetapi di kredit (cicilan) dalam waktu yang telah ditentukan dan nominal pembayaran cicilan terkadang ditentukan pula. Konsekuensinya harga barang lebih mahal dari pada harga semestinya. Dan sudah menjadi kebiasaan pada zaman sekarang ini, terutama pembelian pada barang yang harganya mahal, seperti: rumah, mobil, motor, benda elektronik, perhiasan dan lain sebagainya.
            Tidak dipungkiri lagi bahwa praktek jual beli seperti ini terdapat unsur-unsur pertolongan, antara pembeli dan penjual. Melihat realita yang ada dalam masyarakat kegiatan jual beli seperti ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Penjual mendapatkan keutungan tambahan harga sedangkan pembeli bisa mendapatkan barang yang diinginkan secara singkat tanpa harus membayar dengan uang tertentu saat terjadi transaksi.
            Tetapi secara obyektif keuntungan yang diperoleh keduanya tidak sama. Bisa berubah setiap waktu. Jual beli secara kredit sangat menguntungkan bagi pembeli, tapi di sisi lain ini sangat merugikan bagi pembeli, kenaikan harga di atas harga biasa karena penangguhan pembayaran diperbolehkan karena menurut sebagian besar fuqaha penangguhan pembayaran adalah harga, karena dalam nash tidak ada larangan. Selagi tidak sampai batas kedzaliman hukumnya berubah haram.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Konsep Dasar Jual Beli Kredit?
2.      Bagaimana Asumsi Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya?
3.      Bagaimana Hukum Jual Beli Kredit dalam Islam?
4.      Bagaimana Syarat-syarat Jual Beli Secara Kredit?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Bagaimana Konsep Dasar Jual Beli Kredit
2.      Mengetahui Bagaimana Asumsi Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya
3.      Mengetahui Bagaimana Hukum Jual Beli Kredit dalam Islam
4.      Mengetahui Bagaimana Syarat-syarat Jual Beli Secara Kredit













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Dasar Jual Beli Kredit
Salim (2002: 319) mengemukakan pengertian jual beli secara kredit menurut arti bahasa (lughatan), menurutnya kata taqsith memiliki banyak arti, antara lain sebagai berikut.
1.      Memisah-misahkan dan menjadikan sesuatu menjadi beberapa bagian. Jika dikatakan: qassatha fulan asy-syai’ berarti ia memisah-misahkannya dan membuatnya menjadi bagian-bagian kecil.
2.      Membagi sama rata. Al-Laits mengatakan bahwa kata “taqassamu asy-syai’a bainahum” berarti mereka membagi barang tersebut sama rata kepada masing-masing mereka. Dalam Al-Ubab, ia diartikan sebagai adil, sedangkan dalam Al-Lisan, ia diartikan adil dan sama. Dengan pengertian ini, taqsith berarti membagi sesuatu menjadi bagian-bagian yang sama, misalnya mencicil pembayaran utang senilai lima ratus ribu rupiah sampai lima minggu dengan asumsi tiap minggu dibayar seratus ribu rupiah.
3.      Terlalu hemat/ mempersempit belanja (taqthir). Frase “qassatha ‘ala iyalihi an-nafaqah taqsithan” berarti dia memberikan nafkah kepada keluarganya dengan cara mengangsur, apabila ia mempersempit belanja mereka. Ath-Tharmah mengatakan dalam syairnya: cukuplah baginya satu telapak tangan yang tak terlihat dua jari telunjuknya. Sangat berhemat lantaran takut kehilangannya.
4.      Bagian dan perolehan. Frase “taqassathna asy-syai’ bainana” berarti masing-masing di antara kami mengambil bagian peruntukannya dari sesuatu tersebut. Sementara kata “wafahu qisthahu” berarti ia telah mengambil penuh bagiannya. Apabila sesuatu ini berupa utang, berarti utang ini dibagi-bagi dengan bagian yang jelas untuk dibayarkan pada waktu-waktu tertentu.

Pengertian jual beli secara kredit dalam terminology adalah pedagang menjual suatu barang yang jika dibayar tunai harganya sekian, dan jika dibayar secara kredit atau angsuran, harganya sekian, yakni lebih tinggi dari yang pertama. Salim (2002: 320) mengungkapkan materi dalam majalah Durar Al-Hukkam Syarh Majalah Al-Ahkam (157) bahwa taqsith berarti menunda pembayaran utang dengan membagi-baginya ke dalam waktu-waktu tertentu. Harga pembayaran yang di angsur adalah harga yang pembayarannya disyaratkan terbagi-bagi secara jelas dalam waktu tertentu.
      Jual beli secara kredit mewujudkan kemaslahatan yang akan kembali kepada penjual dan pembeli. Kemaslahatan penjual terimplementasikan dalam wujud mempermudah jalan dan membuka peluang menjadikan barang dagangan lebih banyak terjual. Sementara kemaslahatan bagi pembeli adalah mendapatkan barang yang sangat dibutuhkannya pada saat ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membayanya secara tunai. Jadi, ia bisa menunda pembayarannya beberapa kali sesuai kondisi keuangannya.
      Atas dasar ini jual beli kredit yang tampaknya sudah menjadi fenomena umum di zaman sekarang terjadi karena scenario. Konsumen, terutama kalangan yang berpendapatan rendah, dan orang yang membutuhkan barang untuk menutupi salah satu kebutuhannya atau mencukupi sarana-sarana hidup sejahtera, atau memperoleh laba dan pertumbuhan ekonomi, berupa mesin cuci, kulkas, mobil dan sarana-sarana lain berupa peralatan listrik, elektronik, dan perabotan datang menemui pedagang yang menjual barang-barang secara kredit, kemudian ia menginformasikan harga jual barang jika dibeli tunai dan harga jual dibeli secara kredit (angsuran). Biasanya, harga kredit lebih tinggi dari pada harga kontan. Apabila pembeli memilih harga jual kredit dan terjadi kesepakatan antara keduanya maka itulah ilustrasi jual beli dengan sistem pembayaran angsuran (kredit).

B.     Asumsi Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya
Istilah kredit tidak dikenal di kalangan ulama ahli fiqh sebelum abad ini. Tentu saja istilah tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits yang merupakan salah-satu utama sumber fiqh. Jika memang demikian persoalannya, perlu dilakukan untuk menelusuri dan menganalisisnya ke berbagai lokasi dan mengendus asumsi-asumsi yang mengandung akar dan prinsip-prinsip masalah ini dalam sumber-sumber hadits dan fiqh.
            Dalam kitab-kitab hadits kita mendapati asal-usul jenis jual beli ini di beberapa tempat berikut.
1.      Hadits Nabi saw, yang melarang dua pola jual beli pada satu barang tertentu, atau dlua transaksi jual beli pada satu barang tertentu, atau dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.
2.      Hadits Nabi saw yang melarang dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.
3.      Hadits-hadits yang berisikan larangan Rasulullah saw tentang dua syarat dalam satu jual beli atau jual beli dan satu syarat.
      Dalam penjelasan hadits-hadits ini, ada keterangan yang memberi pengertian bahwa di antara bentuk-bentuk yang dimaksudkan oleh hadits-hadits tersebut adalah seseorang menjual barang dengan harga sekian jika dibayar kontan dan harga sekian jika pembayarannya tertunda. Cara seperti ini dianggap sebagai prinsip jual beli secara kredit (taqshith).

C.    Hukum Jual Beli Kredit dalam Islam
Jual beli dengan sistem kredit adalah jual beli yang tidak dilakukan secara kontan dimana pembeli sudah sudah menerima barang sebagai objek jual beli, namun belum membayar harga, baik keseluruhan maupun sebagian. Pembayaran dilakukan secara angsur sesuai dengan kesepakatan. Sulaiman bin Turki mendefinisikan jual beli kredit:



“jual beli di mana barang diserahterimakan terlebih dahulu, sementara pembayaran dilakukan beberapa waktu kemudian berdasarkan kesepakatan”.
            Islam menyeru kepada seluruh kaum muslimin untuk membantu orang yang lemah, memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan dan lain sebagainya. Semua itu menunjukan bahwa hak seseorang hanyalah menurut apa yang telah diperbuatnya, ia dilarang menindas orang lain, karena menindas orang yang lemah dan meremehkan orang yang membutuhkan pertolongan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak religius, tidak manusiawi dan melanggar norma-norma moral.
            Dalam kehidupan bermuamalah, Islam telah memberikan garis kebijaksanaan perekonomian yang jelas. Transaksi bisnis merupakan hal yang sangat diperhatikan dan dimuliakan oleh Islam. perdagangan yang jujur sangat disukai oleh Allah, dan Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang berbuat demikian. Perdagangan, bisa saja dilakukan oleh individual atau perusahaan dan berbagai lembaga tertentu yang serupa.    Upaya mengantisipasi terjadi kecurangan-kecurangan dalam jual beli, baik yang berbentuk eksploitasi, pemerasan, monopoli maupun bentuk kecurangan lainnya, tidak dibenarkan oleh Islam karena hal tersebut jelas bertentangan dengan jiwa syariat Islam itu. Islam tampil memberikan segala ketentuan yang pasti dan menjauhkan berbagai pelanggaran tersebut. Semuanya dalam rangka memperlihatkan hak individu yang mesti terlindungi dan menegakan solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada dunia bisnis ketinggian moral yang diajarkan oleh Islam dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.
            Bentuk nyata dari apa yang diistilahkan muamalah atau hubungan antar sesame manusia, antara lainkita kenal adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu kegiatan yan telah memasyarakat di kalangan umat manusia, dan agama Islam telah memeberi peraturan dan dasar yang cukup jelas dan tegas. Akan tetapi mungkin sering pula terjadi kasus kenaikan harga penjualan, karena kredit.
            Lebih lanjut dalam jual beli ada satu sifat yang penting dan harus dipraktekan dalam suatu jual beli. Faktor itu adalah kejujuran, karena sangat penting sebagai sifat yang akan menolong pribadi manusia itu sendiri. Hal ini cukup beralasan karena pada umumnya manusia itu cenderung bersifat ingin memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang sedikit. Keinginan tersebut wajar dan sangat logis, akan tetapi kalau harus menempuh jalan yang  tidak semestinya tentu akan menjerumuskan dirinya ke dalam garis kebijakan yang dilarang oleh Allah.
            Bila kita membicarakan masalah penjualan atau perdagangan rasanya tidak bisa lepas dari apa yang disebut riba atau Bungan uang. Allah SWT, berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275:





            Artinya : orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri     melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran        (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah             disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu          sama dengan riba, padalah Allah telah menghalalkan jual beli dan        mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan             dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka ,baginya    apa yang telah diambilnya dahulu (Sebelum datang larangan); dan        urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil             riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; neraka kekal di     dalamnya.
                        Ayat tersebut merupakan dalil nash yang menjadi dasar bagi kita     dalam menangani muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa Islam melarang setiap tindakan pembungaan uang. Akan tetapi tidak boleh menganggap atau berusaha untuk menganggap bahwa Islam melarang perkreditan. Atau dengan kata lain, bahwa pada dasarnya Islam memandang perkreditan itu boleh dalam dunia perdagangan. Apalagi di dalam masyarakat yang menganut sistem perekonomian modern seperti sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman. Di balik semua itu tentu masing-masing pihak, sama-sama ingin meraih keuntungan. Akan tetapi secara obyektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah sama, melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu apalagi perekonomian negara kurang stabil.
                        Dalam menghadapi permasalah di atas, para ulama berlainan pendapat, di antaranya ada yang memperbolehkan da nada yang melarangnya, antara lain:
1.      Jumhur ahli fiqh, seperti madzhab Hanafi, Syafi’I, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
2.      Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikan harga menurtu yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
3.      Sebagian fuqaha mengharamkan dengan alasan, bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba. Demikian penjelasan Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram.
4.      Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenarnya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (harga tambahan). Riba nasiah itu ialah riba yang jelas-jelas dilarang oleh nash al-Qur’an.
            Melihat kenyataan dan kebiasaan yang ada di masyarakat, ternyata jual beli model ini adalah merupakan suatu keharusan dan menjadi bagian dari hidup seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Atau dengan istilah lain, bahwa hal demikian sudah menjadi kebutuhan primer walau mungkin hanya dalam skala yang tidak seberapa. Sebab kegiatan jual beli seperti ini, baik penjual maupun pembeli memperoleh keuntungan, penjual memperoleh tambahan keuntungan dan pembeli dalam waktu singkat mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa harus menghadirkan (mendapatkan) sejumlah uang tertentu ketika terjadi transaksi.
            Dampak negatif dari jual beli dengan cara kredit di antaranya, adalah untuk kalangan tertentu ada kecenderungan untuk selalu menggunakan jasa ini walau sebenarnya ia mampu dengan jalan tunai, dan bukankah hal ini termasuk telah menipu diri sendiri. Selain itu sikap konsumeris bertambah subur, karena merasa diri mampu dan akan mampu menyelesaikannya. Adalah menjadi tanggung jawabkita bersama untuk dapat mengurangi kecenderungan seperti yang dikemukakan di atas, meskipun tidak sampai tuntas, jika kegiatan jual beli semacam ini masih tetap ada dalam masyarakat.
            Sebenarnya Islam memberikan motivasi dengan menganjurkan pemeluknya untuk menjadi orang kaya berharta banyak, berkecukupan dalam masalah kebutuhan atau terjamin kehidupan perekonomian yang sehat. Tentu saja hal tersebut pencapaiannya harus terkontrol oleh prinsip-prinsip syara’, dengan maksud agar terhindar dari hal-hal yang dapat mendatangkan kemadharatan.
            Jual beli sebagai wahana bagi manusia dalam kerangka pemenuhan kebutuhannya, telah diberikan batas-batas atau aturan yang jelas oleh Allah SWT. Sehingga kemaslahatan dapat terealisasikan dengan sebenarnya. Menaikkan harga terhadap suaut penjualan lantaran penangguhan pembayaran, merupakan kasus ekonomi yang sering terjadi dalam masyarakat, sehingga kemudian para ulama dan fuqaha berusaha menggali hukumnya dari dalil nash maupun berdasarkan ra’yu dengan argument yang berbeda-beda dan demikian pula produk hukumnya sebagaimana telah dibicarakan di atas. Kenyataan demikian sebenarnya memberikan kesempatan bagi kita umat Islam untuk terlibat dalam masalah yang dimaksud, sehingga terkesan bahwa Islam adalah bukan agama doktrin yang mematikan eksistensi akal sehat, yang bergerak bebas namun terbatas, tidak lepas kendali.

D.    Syarat-syarat Jual Beli  Secara Kredit
            Salim mengatakan sudah maklum adanya bahwa akad jual beli secara umum mempunyai syarat-syarat yang telah dijelaskan secara detail dalam kitab-kitab fiqh. Hanya saja, jual beli secara kredit mempunyai persyaratan khusus yang berkaitan dengan karakteristiknya, dan yang terpenting adalah bahwa tempo atau jangka waktunya telah ditentukan secara definif.
            Mengingat bahwa waktu merupakan unsur mendasar dalam jual beli secara kredit, karena merupakan bagian jual beli mutlak atau cash yang harganya (pembayarannya) dibayar secara cash, kami akan membicarakan wacana mengenai jangka waktu (ajal) dengan pertimbangan-pertimbangan berikut.
1.      Pengertian Tempo/Jangka Waktu (Ajal)
Sudah merupakan keharusan jika waktu pembayaran tiap angsuran dalam jual beli sistem kredit diketahui waktunya oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Karena ketidak jelasan waktu akan mengakibatkan perselisihan yang kemudian akan merusak jual beli. Tampak dari ungkapan kalangan ahli fiqh bahwa apabila waktu pembayarannya tidak jelas maka jual belinya rusak, baik ketidak jelasan tersebut kecil maupun sudah keterlaluan. Jadi apabila waktu pembayaran tiap cicilan (angsuran) ditetapkan misalnya, pada tanggal terakhir tiap bulan, menurut kesepakatan ulama, penentuan waktu tersebut sah karena adanya kepastian pengetahuan yang meniadakan ketidakjelasan.
Jika waktu pembayarannya tidak diketahui dengan tingkat ketidak jelasan yang keterlaluan, misalnya, penetapan waktu pembayaran berdasarkan turunnya musim panen, ia menjadi batal menurut kesepakatan ahli fiqh.  Jika tingkat ketidakjelasannya masih ringan misalnya penentuan waktu pembayaran dengan patokan panen besar, menurut jumhur ulama, jual beli demikian batil (tidak sah), karena patokan waktu demikian memiliki kemungkinan ada dan tidak ada, serta memiliki kemungkinan maju dan mundur, sehingga rentan memicu perselisihan yang menyebabkan rusaknya jual beli.
Kalangan madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam versi pendapat yang shahih memilih pendapat yang menyatakan bahwa penundaan pembayaran (tsaman) sampai batas waktu yang tidak jelas bisa membatalkan akad. Sementara kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa jual beli tidak batal dengan adanya ketidakjelasan waktu yang masih berskala ringan, misalnya datangnya musim haji atau panen.
Sementara itu dalam versi riwayat lainnya dari Iman Ahmad, dan ini merupakan pendapat Ibnu Syibramah, dinyatakan bahwa akadnya tetap sah dan hanya penundaan waktu pembayarannya saja yang batal (tidak sah). Dalam konteks ini, pendapat yang unggul adalah pendapat yang dipilih oleh jumhur bahwa akad seperti ini batal, karena yang merusak akad ini adalah syarat dan ia selalu beriringan dengan akad. Selain itu, akad juga hanya memiliki dua kemungkinan sah atau rusak. Jika akadnya sah dengan adanya tempo, persyaratan ini tidak merusak akad. Jika akadnya rusak, ia tidak akan bisa berbalik menjadi sah, sebagaimana seseorang menjual satu dirham dengan harga dua dirham, kemudian salah satunya hilang.
2.      Berakhirnya waktu pembayaran
Apabila seseorang (A) menjual barang dagangan kepada orang lain (B) dengan cara kredit atau di angsur maka jatuh tempo pembayarannya adalah sebagai berikut:
a.       Jatuh tempo masa pembayaran
Apabila seseorang (A) menjual barangnya dengan syarat pembeli membayar jumlah nominal tertentu dari harga barang pada tiap akhir bulan, waktu tiap angsuran akan berakhir dengan berakhirnya bulan. Sebelum itu, penjual tidak berhak menuntut pembeli untuk membayar (angsurannya), karena kerelaan penjual atas tertundanya pembayaran sama artinya ia rela menunda hak nya sampai waktu yang ditentukan.
b.      Meninggalnya pembeli dan kepailitannya
Apabila pembeli meninggal dunia maka pembayaran kreditnya langsung jatuh tempo. Berbeda hal nya jika yang meninggal adalah penjual. Di sini, tidak berlaku tempo kredit. Karena tempo (penundaan pembayaran) dibatalkan dengan kematian orang yang berutang, bukan kematian orang yang mengutangi. Alasannya, manfaat penundaan waktu pembayaran akan tampak jika pembeli berdagang, kemudian ia membayar harga barang dari bertambah banyaknya harta, kemudian ia membayar harga barang dari bertambah banyaknya harta. Apabila ia meninggal dunia maka harta yang ditinggalkannya hanya dialokasikan untuk membayar utangnya, sehingga penundaan pembayaran tidak diberikan. Selain itu, apabila pembeli mengalami pailit, sementara ia memilki tanggungan kredit atau jual beli yang waktu pembayarannya di tunda dan tidak mampu membayar harga barang yang di beli, akad jual beli nya tidak batal. Karena seseorang boleh membeli barang dagangan dengan sistem qiradh (pinjam modal) secara cash, sekalipun tidak berada dalam kepemilikan. Selain itu, sudah maklum adanya bahwa kewajiban menyerahkan pembayaran harga barang bukan termasuk hukum akad dan ketidakmampuan menyerahkan pembayaran, karena tiba-tiba pailit.
3.      Syarat-syarat penundaan waktu pebayaran
Agar penundaan waktu pembayaran dan angsuran menjadi sah, ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.       Harga kredit termasuk jenis utang. Jika penyerahan barang dagangan ditunda sampai waktu tertentu, dengan perkataan pembeli, “saya beli dengan ditham-dirham ini, tetapi saya akan menyerahkan dirham-dirham ini di lain waktu”. Jual beli seperti itu batal karena penundaan waktu pembayaran hanya boleh dalam keadaan darurat manakala pembeli tidak mempunyai uang untuk membayar dan memungkinkan ia mencarinya dalam beberapa waktu. Sementara pada barang-barang tidak berlaku darurat, penundaan ini mengubah tuntutan akad sehingga mengharuskan rusaknya akad.
b.      Harga (pembayarannya) bukan merupakan ganti penukaran uang, dan harga pembayaran yang diserahkan bukan dalam jual beli salam. Karena kedua jual beli ini mensyaratkan diterimanya uang pembayaran di tempat transaksi, sehingga sebagai tindakan preventif untuk mencegah riba, tidak mungkin dilakukan penundaan waktu pembayaran.
c.       Tidak ada unsur kecurangan yang keji pada harga. Penjual berkewajiban membatasi keuntungan/laba sesuai kebiasaan yang berlaku dan tidak mengeksploitasi keadaan pembeli yang sedang kesulitan dengan menjual barang dengan laba yang berlipat-lipat, karena hal ini termasuk kerakusan, ketamakan, merugikan manusia, dan memakan harta sesama secara batil.
d.      Mengetahui harta pertama apabila jual beli secara kredit terjadi dalam wilayah jual beli saling percaya antara penjual dan pembeli (amanah), seperti murabahah, wilayyah atau muwadha’ah. Apabila harga pertama tidak diketahui maka jual belinya rusak karena harganya tidak jelas.
e.       Tidak adanya persyaratan dalam jual beli sistem kredit ini. Apabila pembeli menyegerakan pembayarannya, penjual memotong jumlah tertentu dari harga yang semestinya. Akan tetapi, penjual berhak menurunkan sebagian harga pembayaran tanpa adanya kesepakatan sebelumnya. Tindakan penjual ini termasuk tindakan penghapusan utang dari orang yang menanggungnya dan termasuk cermin kebaikan budi.
f.       Dalam akad jual beli secara kredit, penjual tidak boleh membeli kepada pembeli, baik pada saat akad maupun sesudahnya, menambah harga pembayaran atau keuntungan ketika pihak yang berutang terlambat membayar utangnya.
g.      Tujuan pembeli membeli barang dagangan dengan harga kredit yang lebih tinggi daripada harga cash adalah agar ia dapat memanfaatkannya dengan segera atau untuk diperdagangkan.
Namun, apabila tujuannya agar ia dapat menjualnya dengan segera dan mendapatkan sejumlah uang demi memenuhi suatu kebutuhannya yang lain, praktik demikian biasa disebut “tawaru” maka hal itu tidak diperbolehkan, karena berdasarkan suatu riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz r.a. pernah ditanya ikhwal tawaruq, ia menjawab, “bersaudara dengan riba”. Salim (2002: 620) mengemukakan pendapat Ibnu Tamiyah dalam Majmu’Fatawa (29/48) sebagai berikut.
1)      Penjualnya adalah seorang pedagang dan biasa melakukan jual beli secara kredit, atau jual beli secara kredit merupakan salah satu bentuk usaha utamanya.
2)      Modalnya tidak kurang dari lima ribu Pound Mesir atau sebanding dengan tujuannya yang ia bisa menjadikannya sebagai pusat keuangan yang mencegahnya melakukan kesewenang-wenangan.
3)      Penjual mempunyai buku catatan khusus untuk mencatat transaksi yang berhubungan dengan jual beli sesusai format yang telah ditetapkan oleh Kementrian Perdagangan.
4)      Akad jual beli tersebut dibuat dua rangkap untuk menjaga kemungkinan terjadinya perselisihan yang timbul antara dua belah pihak yang bertransasksi.
5)      Penjual hanya mengambil kurang lebih dari 25% harga barang secara cash ketika menyerahkan barang kreditan dengan tujuan melindungi pembeli/konsumen.
6)      Angsuran tidak kurang dari satu pound tiap bulannya dan masa angsuran yang tersisa dari harga jual beli tidak lebih dari dua tahun sejak tanggal akad jual beli.
7)      Jumlah angsuran harga (pembayaran) sama, tersistem (teratur), dan dibayarkan selama jangka waktu yang masuk akal.
Syarat ini tidak ditolak oleh nash-nash dan kaidah-kaidah umumnya, seperti firman Allah: ”Wahai orang yang beriman, apabila kamu mengadakan utang piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah”. Juga sabda Rasulullah yang artinya: ”Kaum muslimin mempunyai tanggungan dengan syarat mereka”.
E.     Konsekuensi Jual Beli secara Kredit dan berbagai Implikasinya
Konsekuensi akad jual beli adalah berpindahnya kepemilikan barang yang dijual kepada pembeli dan kepemilikan uang pembayaran kepada penjual. Mengingat uang pembayaran dalam jual beli secara kredit ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal) maka uang ini tidak diserahkan saat transaksi berlangsung. Namun, hal tersebut tidak memberikan hak kepada penjual untuk menolak menyerahkan barang yang dijualnya.
            Salim menyebutkan pendapat dalam Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab, “rekan-rekan kami (sesame kalangan madzhab Syafi’i) mengatakan, pembeli mempunyai kebebasan untuk mengambil barang tanpa seizin penjual jika memang ia telah menyerahkan uang, atau jika pembayarannya menggunakan sistem kredit”.
            Di sisi lain, penyusun Al-Majmu’ dalam salim mengatakan, seandainya ia menual dengan syarat ia tidak menyerahkan barangnya sampai ia menerima uang pembayara maka apabila harganya menggunakan sistem kredit (pembayarannya ditunda), akadnya batal karena wajib diserahkan saat itu juga, sehingga syarat ini meniadakan tuntutan jual beli dengan harga kredit”.



MAKALAH

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. inspiring muslimah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger