BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jual beli amat penting bagi
kehidupan manusia. lebih-lebih saat ini, komunikasi dan interaksi semakin
mengglobal sehingga akulturasi pun mengglobal pula. Tapi pada kenyataannya
tidak semua orang mampu memiliki suatu barang dengan wajar atau biasa,
dikarenakan daya beli dan tarap ekonomi masyarakat berbeda-beda. Maka dari itu
terjadilah transaksi jual beli yang pembayarannya tidak secara cash tetapi di
kredit (cicilan) dalam waktu yang telah ditentukan dan nominal pembayaran
cicilan terkadang ditentukan pula. Konsekuensinya harga barang lebih mahal dari
pada harga semestinya. Dan sudah menjadi kebiasaan pada zaman sekarang ini,
terutama pembelian pada barang yang harganya mahal, seperti: rumah, mobil,
motor, benda elektronik, perhiasan dan lain sebagainya.
Tidak dipungkiri lagi bahwa praktek
jual beli seperti ini terdapat unsur-unsur pertolongan, antara pembeli dan
penjual. Melihat realita yang ada dalam masyarakat kegiatan jual beli seperti
ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Penjual mendapatkan keutungan
tambahan harga sedangkan pembeli bisa mendapatkan barang yang diinginkan secara
singkat tanpa harus membayar dengan uang tertentu saat terjadi transaksi.
Tetapi secara obyektif keuntungan
yang diperoleh keduanya tidak sama. Bisa berubah setiap waktu. Jual beli secara
kredit sangat menguntungkan bagi pembeli, tapi di sisi lain ini sangat
merugikan bagi pembeli, kenaikan harga di atas harga biasa karena penangguhan
pembayaran diperbolehkan karena menurut sebagian besar fuqaha penangguhan
pembayaran adalah harga, karena dalam nash tidak ada larangan. Selagi tidak
sampai batas kedzaliman hukumnya berubah haram.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Konsep Dasar Jual Beli Kredit?
2. Bagaimana
Asumsi Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya?
3. Bagaimana
Hukum Jual Beli Kredit dalam Islam?
4. Bagaimana
Syarat-syarat Jual Beli Secara Kredit?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
Bagaimana Konsep Dasar Jual Beli Kredit
2. Mengetahui
Bagaimana Asumsi Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya
3. Mengetahui
Bagaimana Hukum Jual Beli Kredit dalam Islam
4. Mengetahui
Bagaimana Syarat-syarat Jual Beli Secara Kredit
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Jual Beli Kredit
Salim
(2002: 319) mengemukakan pengertian jual beli secara kredit menurut arti bahasa
(lughatan), menurutnya kata taqsith memiliki banyak arti, antara
lain sebagai berikut.
1. Memisah-misahkan
dan menjadikan sesuatu menjadi beberapa bagian. Jika dikatakan: qassatha fulan asy-syai’ berarti ia
memisah-misahkannya dan membuatnya menjadi bagian-bagian kecil.
2. Membagi
sama rata. Al-Laits mengatakan bahwa kata “taqassamu
asy-syai’a bainahum” berarti mereka membagi barang tersebut sama rata
kepada masing-masing mereka. Dalam Al-Ubab,
ia diartikan sebagai adil, sedangkan dalam Al-Lisan,
ia diartikan adil dan sama. Dengan pengertian ini, taqsith berarti membagi sesuatu menjadi bagian-bagian yang sama,
misalnya mencicil pembayaran utang senilai lima ratus ribu rupiah sampai lima
minggu dengan asumsi tiap minggu dibayar seratus ribu rupiah.
3. Terlalu
hemat/ mempersempit belanja (taqthir). Frase
“qassatha ‘ala iyalihi an-nafaqah
taqsithan” berarti dia memberikan nafkah kepada keluarganya dengan cara
mengangsur, apabila ia mempersempit belanja mereka. Ath-Tharmah mengatakan
dalam syairnya: cukuplah baginya satu
telapak tangan yang tak terlihat dua jari telunjuknya. Sangat berhemat lantaran
takut kehilangannya.
4. Bagian
dan perolehan. Frase “taqassathna
asy-syai’ bainana” berarti masing-masing di antara kami mengambil bagian
peruntukannya dari sesuatu tersebut. Sementara kata “wafahu qisthahu” berarti ia telah mengambil penuh bagiannya.
Apabila sesuatu ini berupa utang, berarti utang ini dibagi-bagi dengan bagian
yang jelas untuk dibayarkan pada waktu-waktu tertentu.
Pengertian jual beli
secara kredit dalam terminology adalah pedagang menjual suatu barang yang jika
dibayar tunai harganya sekian, dan jika dibayar secara kredit atau angsuran,
harganya sekian, yakni lebih tinggi dari yang pertama. Salim (2002: 320)
mengungkapkan materi dalam majalah Durar Al-Hukkam Syarh Majalah Al-Ahkam (157)
bahwa taqsith berarti menunda
pembayaran utang dengan membagi-baginya ke dalam waktu-waktu tertentu. Harga
pembayaran yang di angsur adalah harga yang pembayarannya disyaratkan
terbagi-bagi secara jelas dalam waktu tertentu.
Jual beli secara kredit mewujudkan kemaslahatan yang akan
kembali kepada penjual dan pembeli. Kemaslahatan penjual terimplementasikan
dalam wujud mempermudah jalan dan membuka peluang menjadikan barang dagangan
lebih banyak terjual. Sementara kemaslahatan bagi pembeli adalah mendapatkan
barang yang sangat dibutuhkannya pada saat ia tidak memiliki uang yang cukup
untuk membayanya secara tunai. Jadi, ia bisa menunda pembayarannya beberapa
kali sesuai kondisi keuangannya.
Atas dasar ini jual beli kredit yang tampaknya sudah menjadi
fenomena umum di zaman sekarang terjadi karena scenario. Konsumen, terutama
kalangan yang berpendapatan rendah, dan orang yang membutuhkan barang untuk menutupi
salah satu kebutuhannya atau mencukupi sarana-sarana hidup sejahtera, atau
memperoleh laba dan pertumbuhan ekonomi, berupa mesin cuci, kulkas, mobil dan
sarana-sarana lain berupa peralatan listrik, elektronik, dan perabotan datang
menemui pedagang yang menjual barang-barang secara kredit, kemudian ia
menginformasikan harga jual barang jika dibeli tunai dan harga jual dibeli
secara kredit (angsuran). Biasanya, harga kredit lebih tinggi dari pada harga
kontan. Apabila pembeli memilih harga jual kredit dan terjadi kesepakatan
antara keduanya maka itulah ilustrasi jual beli dengan sistem pembayaran
angsuran (kredit).
B.
Asumsi
Penjualan secara kredit dan prinsip-prinsipnya
Istilah
kredit tidak dikenal di kalangan ulama ahli fiqh sebelum abad ini. Tentu saja
istilah tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits yang merupakan
salah-satu utama sumber fiqh. Jika memang demikian persoalannya, perlu
dilakukan untuk menelusuri dan menganalisisnya ke berbagai lokasi dan mengendus
asumsi-asumsi yang mengandung akar dan prinsip-prinsip masalah ini dalam
sumber-sumber hadits dan fiqh.
Dalam kitab-kitab hadits kita
mendapati asal-usul jenis jual beli ini di beberapa tempat berikut.
1. Hadits
Nabi saw, yang melarang dua pola jual beli pada satu barang tertentu, atau dlua
transaksi jual beli pada satu barang tertentu, atau dua transaksi jual beli
dalam satu transaksi jual beli.
2. Hadits
Nabi saw yang melarang dua akad jual beli dalam satu akad jual beli.
3. Hadits-hadits
yang berisikan larangan Rasulullah saw tentang dua syarat dalam satu jual beli
atau jual beli dan satu syarat.
Dalam penjelasan hadits-hadits ini, ada keterangan yang memberi
pengertian bahwa di antara bentuk-bentuk yang dimaksudkan oleh hadits-hadits
tersebut adalah seseorang menjual barang dengan harga sekian jika dibayar
kontan dan harga sekian jika pembayarannya tertunda. Cara seperti ini dianggap
sebagai prinsip jual beli secara kredit (taqshith).
C.
Hukum
Jual Beli Kredit dalam Islam
Jual
beli dengan sistem kredit adalah jual beli yang tidak dilakukan secara kontan
dimana pembeli sudah sudah menerima barang sebagai objek jual beli, namun belum
membayar harga, baik keseluruhan maupun sebagian. Pembayaran dilakukan secara angsur
sesuai dengan kesepakatan. Sulaiman bin Turki mendefinisikan jual beli kredit:
“jual
beli di mana barang diserahterimakan terlebih dahulu, sementara pembayaran
dilakukan beberapa waktu kemudian berdasarkan kesepakatan”.
Islam menyeru kepada seluruh kaum
muslimin untuk membantu orang yang lemah, memberikan pinjaman kepada orang yang
membutuhkan dan lain sebagainya. Semua itu menunjukan bahwa hak seseorang
hanyalah menurut apa yang telah diperbuatnya, ia dilarang menindas orang lain,
karena menindas orang yang lemah dan meremehkan orang yang membutuhkan
pertolongan adalah perbuatan-perbuatan yang tidak religius, tidak manusiawi dan
melanggar norma-norma moral.
Dalam kehidupan bermuamalah, Islam
telah memberikan garis kebijaksanaan perekonomian yang jelas. Transaksi bisnis
merupakan hal yang sangat diperhatikan dan dimuliakan oleh Islam. perdagangan
yang jujur sangat disukai oleh Allah, dan Allah memberikan rahmat-Nya kepada
orang-orang yang berbuat demikian. Perdagangan, bisa saja dilakukan oleh
individual atau perusahaan dan berbagai lembaga tertentu yang serupa. Upaya mengantisipasi terjadi
kecurangan-kecurangan dalam jual beli, baik yang berbentuk eksploitasi,
pemerasan, monopoli maupun bentuk kecurangan lainnya, tidak dibenarkan oleh
Islam karena hal tersebut jelas bertentangan dengan jiwa syariat Islam itu. Islam
tampil memberikan segala ketentuan yang pasti dan menjauhkan berbagai
pelanggaran tersebut. Semuanya dalam rangka memperlihatkan hak individu yang
mesti terlindungi dan menegakan solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Hal
ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada dunia bisnis ketinggian moral yang
diajarkan oleh Islam dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.
Bentuk nyata dari apa yang
diistilahkan muamalah atau hubungan antar sesame manusia, antara lainkita kenal
adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu kegiatan yan telah
memasyarakat di kalangan umat manusia, dan agama Islam telah memeberi peraturan
dan dasar yang cukup jelas dan tegas. Akan tetapi mungkin sering pula terjadi
kasus kenaikan harga penjualan, karena kredit.
Lebih lanjut dalam jual beli ada
satu sifat yang penting dan harus dipraktekan dalam suatu jual beli. Faktor itu
adalah kejujuran, karena sangat penting sebagai sifat yang akan menolong
pribadi manusia itu sendiri. Hal ini cukup beralasan karena pada umumnya
manusia itu cenderung bersifat ingin memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya dengan modal yang sedikit. Keinginan tersebut wajar dan
sangat logis, akan tetapi kalau harus menempuh jalan yang tidak semestinya tentu akan menjerumuskan
dirinya ke dalam garis kebijakan yang dilarang oleh Allah.
Bila kita membicarakan masalah
penjualan atau perdagangan rasanya tidak bisa lepas dari apa yang disebut riba
atau Bungan uang. Allah SWT, berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275:
Artinya
: orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba,
padalah Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka ,baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (Sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; neraka kekal di dalamnya.
Ayat tersebut merupakan
dalil nash yang menjadi dasar bagi kita dalam
menangani muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa Islam melarang setiap
tindakan pembungaan uang. Akan tetapi tidak boleh menganggap atau berusaha
untuk menganggap bahwa Islam melarang perkreditan. Atau dengan kata lain, bahwa
pada dasarnya Islam memandang perkreditan itu boleh dalam dunia perdagangan.
Apalagi di dalam masyarakat yang menganut sistem perekonomian modern seperti
sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman. Di balik semua itu tentu
masing-masing pihak, sama-sama ingin meraih keuntungan. Akan tetapi secara
obyektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah sama,
melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu apalagi perekonomian negara
kurang stabil.
Dalam menghadapi
permasalah di atas, para ulama berlainan pendapat, di antaranya ada yang
memperbolehkan da nada yang melarangnya, antara lain:
1. Jumhur
ahli fiqh, seperti madzhab Hanafi, Syafi’I, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi
berpendapat, bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan
harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut
mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang
membolehkan.
2. Jumhur
ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikan harga menurtu yang
pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada.
Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
3. Sebagian
fuqaha mengharamkan dengan alasan, bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan
masalah waktu, dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba. Demikian
penjelasan Yusuf Qardhawi dalam kitabnya al-Halal wa al-Haram.
4. Pendapat
lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenarnya lantaran
kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (harga
tambahan). Riba nasiah itu ialah riba yang jelas-jelas dilarang oleh nash
al-Qur’an.
Melihat kenyataan dan kebiasaan yang
ada di masyarakat, ternyata jual beli model ini adalah merupakan suatu
keharusan dan menjadi bagian dari hidup seseorang dalam memenuhi kebutuhannya.
Atau dengan istilah lain, bahwa hal demikian sudah menjadi kebutuhan primer
walau mungkin hanya dalam skala yang tidak seberapa. Sebab kegiatan jual beli
seperti ini, baik penjual maupun pembeli memperoleh keuntungan, penjual
memperoleh tambahan keuntungan dan pembeli dalam waktu singkat mendapatkan apa
yang diinginkannya tanpa harus menghadirkan (mendapatkan) sejumlah uang
tertentu ketika terjadi transaksi.
Dampak negatif dari jual beli dengan
cara kredit di antaranya, adalah untuk kalangan tertentu ada kecenderungan
untuk selalu menggunakan jasa ini walau sebenarnya ia mampu dengan jalan tunai,
dan bukankah hal ini termasuk telah menipu diri sendiri. Selain itu sikap konsumeris
bertambah subur, karena merasa diri mampu dan akan mampu menyelesaikannya.
Adalah menjadi tanggung jawabkita bersama untuk dapat mengurangi kecenderungan
seperti yang dikemukakan di atas, meskipun tidak sampai tuntas, jika kegiatan
jual beli semacam ini masih tetap ada dalam masyarakat.
Sebenarnya Islam memberikan motivasi
dengan menganjurkan pemeluknya untuk menjadi orang kaya berharta banyak,
berkecukupan dalam masalah kebutuhan atau terjamin kehidupan perekonomian yang
sehat. Tentu saja hal tersebut pencapaiannya harus terkontrol oleh
prinsip-prinsip syara’, dengan maksud agar terhindar dari hal-hal yang dapat
mendatangkan kemadharatan.
Jual beli sebagai wahana bagi
manusia dalam kerangka pemenuhan kebutuhannya, telah diberikan batas-batas atau
aturan yang jelas oleh Allah SWT. Sehingga kemaslahatan dapat terealisasikan
dengan sebenarnya. Menaikkan harga terhadap suaut penjualan lantaran
penangguhan pembayaran, merupakan kasus ekonomi yang sering terjadi dalam
masyarakat, sehingga kemudian para ulama dan fuqaha berusaha menggali hukumnya
dari dalil nash maupun berdasarkan ra’yu dengan argument yang berbeda-beda dan
demikian pula produk hukumnya sebagaimana telah dibicarakan di atas. Kenyataan
demikian sebenarnya memberikan kesempatan bagi kita umat Islam untuk terlibat
dalam masalah yang dimaksud, sehingga terkesan bahwa Islam adalah bukan agama
doktrin yang mematikan eksistensi akal sehat, yang bergerak bebas namun
terbatas, tidak lepas kendali.
D.
Syarat-syarat
Jual Beli Secara Kredit
Salim mengatakan sudah maklum adanya
bahwa akad jual beli secara umum mempunyai syarat-syarat yang telah dijelaskan
secara detail dalam kitab-kitab fiqh. Hanya saja, jual beli secara kredit
mempunyai persyaratan khusus yang berkaitan dengan karakteristiknya, dan yang
terpenting adalah bahwa tempo atau jangka waktunya telah ditentukan secara
definif.
Mengingat bahwa waktu merupakan
unsur mendasar dalam jual beli secara kredit, karena merupakan bagian jual beli
mutlak atau cash yang harganya (pembayarannya) dibayar secara cash, kami akan
membicarakan wacana mengenai jangka waktu (ajal)
dengan pertimbangan-pertimbangan berikut.
1. Pengertian
Tempo/Jangka Waktu (Ajal)
Sudah
merupakan keharusan jika waktu pembayaran tiap angsuran dalam jual beli sistem
kredit diketahui waktunya oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Karena
ketidak jelasan waktu akan mengakibatkan perselisihan yang kemudian akan
merusak jual beli. Tampak dari ungkapan kalangan ahli fiqh bahwa apabila waktu
pembayarannya tidak jelas maka jual belinya rusak, baik ketidak jelasan
tersebut kecil maupun sudah keterlaluan. Jadi apabila waktu pembayaran tiap
cicilan (angsuran) ditetapkan misalnya, pada tanggal terakhir tiap bulan,
menurut kesepakatan ulama, penentuan waktu tersebut sah karena adanya kepastian
pengetahuan yang meniadakan ketidakjelasan.
Jika
waktu pembayarannya tidak diketahui dengan tingkat ketidak jelasan yang
keterlaluan, misalnya, penetapan waktu pembayaran berdasarkan turunnya musim
panen, ia menjadi batal menurut kesepakatan ahli fiqh. Jika tingkat ketidakjelasannya masih ringan
misalnya penentuan waktu pembayaran dengan patokan panen besar, menurut jumhur
ulama, jual beli demikian batil (tidak sah), karena patokan waktu demikian
memiliki kemungkinan ada dan tidak ada, serta memiliki kemungkinan maju dan
mundur, sehingga rentan memicu perselisihan yang menyebabkan rusaknya jual
beli.
Kalangan
madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam versi pendapat yang shahih memilih
pendapat yang menyatakan bahwa penundaan pembayaran (tsaman) sampai batas waktu
yang tidak jelas bisa membatalkan akad. Sementara kalangan madzhab Hanafi
menyatakan bahwa jual beli tidak batal dengan adanya ketidakjelasan waktu yang
masih berskala ringan, misalnya datangnya musim haji atau panen.
Sementara
itu dalam versi riwayat lainnya dari Iman Ahmad, dan ini merupakan pendapat
Ibnu Syibramah, dinyatakan bahwa akadnya tetap sah dan hanya penundaan waktu
pembayarannya saja yang batal (tidak sah). Dalam konteks ini, pendapat yang
unggul adalah pendapat yang dipilih oleh jumhur bahwa akad seperti ini batal,
karena yang merusak akad ini adalah syarat dan ia selalu beriringan dengan
akad. Selain itu, akad juga hanya memiliki dua kemungkinan sah atau rusak. Jika
akadnya sah dengan adanya tempo, persyaratan ini tidak merusak akad. Jika
akadnya rusak, ia tidak akan bisa berbalik menjadi sah, sebagaimana seseorang
menjual satu dirham dengan harga dua dirham, kemudian salah satunya hilang.
2. Berakhirnya
waktu pembayaran
Apabila seseorang (A)
menjual barang dagangan kepada orang lain (B) dengan cara kredit atau di angsur
maka jatuh tempo pembayarannya adalah sebagai berikut:
a. Jatuh
tempo masa pembayaran
Apabila seseorang (A)
menjual barangnya dengan syarat pembeli membayar jumlah nominal tertentu dari
harga barang pada tiap akhir bulan, waktu tiap angsuran akan berakhir dengan
berakhirnya bulan. Sebelum itu, penjual tidak berhak menuntut pembeli untuk
membayar (angsurannya), karena kerelaan penjual atas tertundanya pembayaran
sama artinya ia rela menunda hak nya sampai waktu yang ditentukan.
b. Meninggalnya
pembeli dan kepailitannya
Apabila pembeli
meninggal dunia maka pembayaran kreditnya langsung jatuh tempo. Berbeda hal nya
jika yang meninggal adalah penjual. Di sini, tidak berlaku tempo kredit. Karena
tempo (penundaan pembayaran) dibatalkan dengan kematian orang yang berutang,
bukan kematian orang yang mengutangi. Alasannya, manfaat penundaan waktu
pembayaran akan tampak jika pembeli berdagang, kemudian ia membayar harga
barang dari bertambah banyaknya harta, kemudian ia membayar harga barang dari
bertambah banyaknya harta. Apabila ia meninggal dunia maka harta yang
ditinggalkannya hanya dialokasikan untuk membayar utangnya, sehingga penundaan
pembayaran tidak diberikan. Selain itu, apabila pembeli mengalami pailit,
sementara ia memilki tanggungan kredit atau jual beli yang waktu pembayarannya
di tunda dan tidak mampu membayar harga barang yang di beli, akad jual beli nya
tidak batal. Karena seseorang boleh membeli barang dagangan dengan sistem qiradh (pinjam modal) secara cash,
sekalipun tidak berada dalam kepemilikan. Selain itu, sudah maklum adanya bahwa
kewajiban menyerahkan pembayaran harga barang bukan termasuk hukum akad dan
ketidakmampuan menyerahkan pembayaran, karena tiba-tiba pailit.
3. Syarat-syarat
penundaan waktu pebayaran
Agar penundaan waktu
pembayaran dan angsuran menjadi sah, ia harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut.
a. Harga
kredit termasuk jenis utang. Jika penyerahan barang dagangan ditunda sampai
waktu tertentu, dengan perkataan pembeli, “saya beli dengan ditham-dirham ini,
tetapi saya akan menyerahkan dirham-dirham ini di lain waktu”. Jual beli
seperti itu batal karena penundaan waktu pembayaran hanya boleh dalam keadaan
darurat manakala pembeli tidak mempunyai uang untuk membayar dan memungkinkan
ia mencarinya dalam beberapa waktu. Sementara pada barang-barang tidak berlaku
darurat, penundaan ini mengubah tuntutan akad sehingga mengharuskan rusaknya
akad.
b. Harga
(pembayarannya) bukan merupakan ganti penukaran uang, dan harga pembayaran yang
diserahkan bukan dalam jual beli salam. Karena
kedua jual beli ini mensyaratkan diterimanya uang pembayaran di tempat
transaksi, sehingga sebagai tindakan preventif untuk mencegah riba, tidak
mungkin dilakukan penundaan waktu pembayaran.
c. Tidak
ada unsur kecurangan yang keji pada harga. Penjual berkewajiban membatasi
keuntungan/laba sesuai kebiasaan yang berlaku dan tidak mengeksploitasi keadaan
pembeli yang sedang kesulitan dengan menjual barang dengan laba yang
berlipat-lipat, karena hal ini termasuk kerakusan, ketamakan, merugikan
manusia, dan memakan harta sesama secara batil.
d. Mengetahui
harta pertama apabila jual beli secara kredit terjadi dalam wilayah jual beli
saling percaya antara penjual dan pembeli (amanah),
seperti murabahah, wilayyah atau muwadha’ah. Apabila harga pertama tidak
diketahui maka jual belinya rusak karena harganya tidak jelas.
e. Tidak
adanya persyaratan dalam jual beli sistem kredit ini. Apabila pembeli
menyegerakan pembayarannya, penjual memotong jumlah tertentu dari harga yang
semestinya. Akan tetapi, penjual berhak menurunkan sebagian harga pembayaran
tanpa adanya kesepakatan sebelumnya. Tindakan penjual ini termasuk tindakan
penghapusan utang dari orang yang menanggungnya dan termasuk cermin kebaikan
budi.
f. Dalam
akad jual beli secara kredit, penjual tidak boleh membeli kepada pembeli, baik
pada saat akad maupun sesudahnya, menambah harga pembayaran atau keuntungan
ketika pihak yang berutang terlambat membayar utangnya.
g. Tujuan
pembeli membeli barang dagangan dengan harga kredit yang lebih tinggi daripada
harga cash adalah agar ia dapat memanfaatkannya dengan segera atau untuk
diperdagangkan.
Namun, apabila
tujuannya agar ia dapat menjualnya dengan segera dan mendapatkan sejumlah uang
demi memenuhi suatu kebutuhannya yang lain, praktik demikian biasa disebut “tawaru” maka hal itu tidak
diperbolehkan, karena berdasarkan suatu riwayat bahwa Umar bin Abdul Aziz r.a.
pernah ditanya ikhwal tawaruq, ia
menjawab, “bersaudara dengan riba”. Salim (2002: 620) mengemukakan pendapat
Ibnu Tamiyah dalam Majmu’Fatawa
(29/48) sebagai berikut.
1) Penjualnya
adalah seorang pedagang dan biasa melakukan jual beli secara kredit, atau jual
beli secara kredit merupakan salah satu bentuk usaha utamanya.
2) Modalnya
tidak kurang dari lima ribu Pound Mesir atau sebanding dengan tujuannya yang ia
bisa menjadikannya sebagai pusat keuangan yang mencegahnya melakukan
kesewenang-wenangan.
3) Penjual
mempunyai buku catatan khusus untuk mencatat transaksi yang berhubungan dengan
jual beli sesusai format yang telah ditetapkan oleh Kementrian Perdagangan.
4) Akad
jual beli tersebut dibuat dua rangkap untuk menjaga kemungkinan terjadinya
perselisihan yang timbul antara dua belah pihak yang bertransasksi.
5) Penjual
hanya mengambil kurang lebih dari 25% harga barang secara cash ketika
menyerahkan barang kreditan dengan tujuan melindungi pembeli/konsumen.
6) Angsuran
tidak kurang dari satu pound tiap bulannya dan masa angsuran yang tersisa dari
harga jual beli tidak lebih dari dua tahun sejak tanggal akad jual beli.
7) Jumlah
angsuran harga (pembayaran) sama, tersistem (teratur), dan dibayarkan selama
jangka waktu yang masuk akal.
Syarat ini tidak
ditolak oleh nash-nash dan kaidah-kaidah umumnya, seperti firman Allah: ”Wahai
orang yang beriman, apabila kamu mengadakan utang piutang sampai waktu
tertentu, maka catatlah”. Juga sabda Rasulullah yang artinya: ”Kaum muslimin
mempunyai tanggungan dengan syarat mereka”.
E.
Konsekuensi
Jual Beli secara Kredit dan berbagai Implikasinya
Konsekuensi
akad jual beli adalah berpindahnya kepemilikan barang yang dijual kepada
pembeli dan kepemilikan uang pembayaran kepada penjual. Mengingat uang
pembayaran dalam jual beli secara kredit ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal) maka uang ini tidak
diserahkan saat transaksi berlangsung. Namun, hal tersebut tidak memberikan hak
kepada penjual untuk menolak menyerahkan barang yang dijualnya.
Salim menyebutkan pendapat dalam Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab, “rekan-rekan
kami (sesame kalangan madzhab Syafi’i) mengatakan, pembeli mempunyai kebebasan
untuk mengambil barang tanpa seizin penjual jika memang ia telah menyerahkan
uang, atau jika pembayarannya menggunakan sistem kredit”.
Di sisi lain, penyusun Al-Majmu’ dalam salim mengatakan,
seandainya ia menual dengan syarat ia tidak menyerahkan barangnya sampai ia
menerima uang pembayara maka apabila harganya menggunakan sistem kredit
(pembayarannya ditunda), akadnya batal karena wajib diserahkan saat itu juga,
sehingga syarat ini meniadakan tuntutan jual beli dengan harga kredit”.